Dr. Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada tanggal 29 Mei 1945,
meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia
merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan memutar kembali ingatan
para pendiri bangsa ke belakang; hal ini mendorong mereka untuk menggali
kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam
lumpur sejarah (Latif, 2011: 4). Begitu
lamanya penjajahan menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam
menentukan dasar negaranya. Atas permintaan Dr. Radjiman inilah,
figur-figur negarawan bangsa Indonesia berpikir keras untuk menemukan
kembali jati diri bangsanya. Pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan dari tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, tampil berturut-turut untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan dasar Negara Indonesia sebagai berikut:
1) Peri Kebangsaan,
2) Peri Kemanusiaan,
3) Peri Ketuhanan,
4) Peri Kerakyatan dan
5) Kesejahteraan Rakyat.
Kemudian Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori Negara, yaitu:
1) Teori negara perseorangan (individualis),
2) Paham negara kelas dan
3) Paham negara integralistik.
Selanjutnya oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari:
1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia),
2) Internasionalisme (perikemanusiaan),
3) Mufakat (demokrasi),
4) Kesejahteraan sosial, dan
5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Berkebudayaan) (Kaelan, 2000: 37-40).
Pidato
pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno mengatakan, “Maaf,
beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu
diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua
yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan
saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa
Belanda:“Philosofische grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grond-slag itulah fundamen,filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi”(Bahar, 1995: 63).
Demikian
hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis
dan koheren, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila
disebut sebagai pencipta Pancasila. Beliau mengatakan, “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa
saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa
saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada
bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali
itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah
saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian
daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada
saya… Sebagaimana tiap-tiap
manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala,
diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala” (Soekarno dalam Latif, 2011:
21).
Selain
ucapan yang disampaikan Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun merupakan
khasanah budaya Indonesia, karena nilai-nilai tersebut hidup dalam
sejarah Indonesia yang terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di
Indonesia, seperti berikut:
1. Pada Kerajaan Kutai, masyarakat Kutai merupakan pembuka jaman
sejarah Indonesia untuk pertama kali, karena telah menampilkan nilai
sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri dan sedekah
kepada para Brahmana (Kaelan, 2000: 29).
2. Perkembangan Kerajaan Sriwijaya oleh Mr. Muhammad Yamin disebut sebagai Negara Indonesia Pertama dengan dasar kedatuan,
itu dapat ditemukan nilai-nilai Pancasila material yang paling
berkaitan satu sama lain, seperti nilai persatuan yang tidak terpisahkan
dengan nilai ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat kekuasaan
dengan kekuatan religius berusaha mempertahankan kewibawaannya terhadap
para datu. Nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang terjalin satu
sama lain dengan nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang
yang terentang dari pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan
pelabuhan kerajaan dan Selat Malaka yang diamankan oleh para nomad laut
yang menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan Sriwijaya (Suwarno,
1993: 20-21).
3. Pada masa Kerajaan Majapahit, di bawah Raja Prabhu Hayam Wuruk dan Apatih Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil mengintegrasikan nusantara. Faktor-faktor yang dimanfaatkan untuk menciptakan Wawasan Nusantara
itu adalah: kekuatan religio magis yang berpusat pada Sang Prabhu,
ikatan sosial kekeluargaan terutama antara kerajaan-kerajaan daerah di
Jawa dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom Narandra.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai religius sosial dan politik yang merupakan materi Pancasila sudah muncul sejak memasuki jaman sejarah (Suwarno, 1993: 23-24). Bahkan, pada masa kerajaan ini, istilah Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku Negarakertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah
Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam
bahasa Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang
lima” (Pancasila Krama), yaitu:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo, 1978: 6).
Kedua jaman,
baik Sriwijaya maupun Majapahit dijadikan tonggak sejarah karena pada
waktu itu bangsa telah memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang
mempunyai negara. Baik Sriwijaya maupun Majapahit waktu itu merupakan
negara-negara yang berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara. Pada jaman tersebut bangsa Indonesia telah mengalami kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta raharja (Darmodihardjo dkk, 1991: 21).
Selain jaman
kerajaan, masih banyak fase-fase yang harus dilewati menuju Indonesia
merdeka hingga tergalinya Pancasila yang setelah sekian lama tertimbun
oleh penjajahan Belanda. Sebagai salah satu tonggak sejarah yang
merefleksikan dinamika kehidupan kebangsaan yang dijiwai oleh
nilai-nilai Pancasila adalah termanifestasi dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang
berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang
satu, tanah air Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Penemuan kembali Pancasila sebagai jati diri bangsa terjadi pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyebutkan lima dasar bagi Indonesia merdeka. Sungguhpun
Ir. Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar negara, beliau juga
menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai bilangan
lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar
kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan
dapat dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila. Tri Sila meliputi: socio-nationalisme(kebangsaan), socio democratie (mufakat) dan
ke-Tuhanan. Sedangkan Eka Sila yang dijelaskan oleh Ir. Soekarno yaitu
“Gotong Royong” karena menurut Ir. Soekarno negara Indonesia yang kita
dirikan haruslah negara gotong royong (Latif, 2011: 18-19). Tetapi yanglahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila(disamping
nama Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih) (Notosusanto, 1981: 21).
Ini bukan merupakan kelemahan Ir. Soekarno, melainkan merefleksikan
keluasan wawasan dan kesiapan berdialog dari seorang negarawan besar. Faktanya Ir. Soekarno diakhir sejarah terbukti sebagai penggali Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
Setelah
sidang pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang
disebabkan perbedaan pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI terdiri dari elit Nasionalis netral agama, elit Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis Kristen. Elit Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, namun dengan kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik antara Nasionalis Netral Agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang berisi “tujuh kata “ yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Risalah
Sidang BPUPKI, 1995; Anshari, 1981; Darmodihardjo, 1991). Kesepakatan
peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo demi kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit Muslim sendiri tidak ingin republik yang dibentuk ini merupakan negara berbasis agama tertentu (Eleson dalam Surono dan Endah (ed.), 2010: 37).
Pada
awal kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak
lebih sebagai kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya
perdebatan dan negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati
dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka (Ali, 2009: 17).
Inilah perjalanan The Founding Fathers yang
begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan keadaan agar
dapat melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan
masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar